Isnin, 1 Februari 2016

PROKLAMASI KEMERDEKAAN FAUZAN
Oleh : Achmad Marzuqi
Lelaki itu menatap kosong halaman di belakang rumahnya. Di depannya tampak pepohonan dan tanaman yang tumbuh tidak beraturan, pohon mangga yang sudah habis musimnya, pohon bambu yang terpancang kokoh, singkong dan pohon pisang yang terlihat mendominasi. Tak ada yang menarik untuk dilihatnya, tatapannya tetaplah kosong.
“Hehehe, jadi begini ya pekerjaan mantan guru satu ini.”
Kata-kata kakak nya kemarin terngiang kembali di benaknya. Ia hanya tersenyum.
“Belum waktunya jadi guru lagi,” kilahnya
 “Kamu sudah hampir sebulan lho di sini.”
“Gapapa Mas Aziz, santai aja keles, masih banyak waktunya,” ia beralasan.
“Masa kerjanya hanya menyapu dan menjaga warung,” kata sang kakak seraya ngeloyor pergi.
Merenung di pinggiran Pulau Anambas
“glek.. glek.,”
diminumnya kopi yang menemaninya pagi ini. Tatapannya sedikit tajam. Ada raut kesal di mukanya.
Sinar mentari mulai menjalar terang tak terbendung,  awan-awan  tipis tampak berbaris sambung menyambung, burung-burung gereja tampak berloncatan di pematang sawah sambil bersenandung. Lelaki itu segera bangkit dari tempat duduknya, saatnya membantu Emak berjualan di warung.

“Fauzan, Gus Mad nanyain tentang kamu,” tiba-tiba Mbak Faizah datang ke warung memberi kabar.
“Ada perlu apa?” Fauzan penasaran.
“Beliau memberi tawaran untuk mengajar di daerah Kalimantan Tengah,” jelas Mbak Faizah.
 “Oh iya iya, kemarin sempat bertemu di Pasar saat berbelanja.”
“Jadi, gimana. Iya apa nggak?” Mbak Faizah memotong
“Aku belum bilang ke Emak.”
Yaudah, cepetan sana!”
“Bolehkan Mak?” Fauzan sedikit merayu Emaknya setelah dia menjelaskan secara detail penawaran dari Gus Mad.
“Kamu serius Zan?” Gantian Emak bertanya.
Fauzan tampak diam, ragu untuk menjawab. Anggukan kepalanya terlihat kurang meyakinkan. “Fauzan ingin mencobanya Mak.”
“Ini bukan untuk coba-coba Zan. Di sana sedang dibutuhkan guru mengaji sekaligus imam yang bisa mengurus Masjid,” sambung Mbak Faizah. “Jadi bukan program bulanan, tapi tahunan, bahkan sampai berkeluarga, sampai seumur hidup.
“Kamu siap Zan?” Emak memastikan.
“Emmm... Siap kalau sebulan atau dua bulan,” jawab Fauzan gentar.
“Kalau gitu nggak usah aja. Cari kerja yang dekat-dekat.” Kata Emak.
Suasana mendadak sunyi, kebetulan warung sedang sepi. “Baiklah,” Fauzan memecah kesunyian. “Tolong Mbak Faizah sampaikan ke Gus Mad kalau aku belum bisa.”

 Sudah lebih dari sebulan ini Fauzan tinggal di rumah, setelah memutuskan resign dari profesi mengajarnya di Jakarta. Niat hati ingin mengajar di daerah yang tak jauh dari kampung halaman, namun apalah daya persaingan begitu ketat. Jadilah dirinya bersama ibunya berjualan di warung. “tak banyak yang menyadari jika di dalam rumah ada pekerjaan yang berbonus Surga. Dan ibumu adalah surgamu,” hiburnya.
Namun itu hanyalah prinsipnya dulu, di awal-awal dia memutuskan tinggal bersama Emaknya, setelah merantau hampir dua puluh tahun di daerah Jakarta dan sekitarnya hingga mendapat tempat yang layak sebagai tenaga pengajar. Kini prinsip itu mulai memudar seiring gunjingan para tetangga dan ibu-ibu yang sering belanja di warung Emaknya. Fauzan amat mafhum jika pemuda seumuran dirinya masih betah tinggal di rumah orangtua itu artinya akan menambah angka pengangguran di kampungnya.
Apakah aku salah.
Bukankah ini keputusan yang mulia.
Mengapa orang-orang menggunjingnya sebagai pengangguran.
Pikirannya makin campur aduk.
“Kalau kamu tinggal di rumah ibumu, kamu tidak akan berkembang. Sahabatku sedang membutuhkan guru mengaji di Kalimantan. Cobalah, ke sana supaya hidupmu berkembang.” Jelas Gus Mad, seorang ustadz dari kampung sebelah tempo hari.
Iya benar, aku harus berkembang.
Aku harus tetap berpenghasilan.
Dimatikannya lampu di dalam kamar, dengan harapan bisa bangun untuk shalat malam.
Aku harus segera bangkit
Aku harus menemukan semangatku yang hilang.
Fauzan bangun dari duduk iktikafnya. Doa-doa telah ia panjatkan di sela-sela shalat malam.
Diambilnya kertas folio berukuran sedang, pena kecilnya mulai menari.

                                              PROKLAMASI KEMERDEKAAN FAUZAN
Saja Fauzan Azhiman putra dari Bapak Fathan Mubinan dengan ini menjatakan kemerdekaan diri dari segala kemalasan. Saja haroes tetap berpenghasilan dan mampoe membeli motor Honda idaman. Hal-hal jang mengundang kemalasan haroes segera dibinasakan. Tetap semangat dan jangan terlaloe menghiraukan apa kata orang.
Anjoek Ladang, 01 Februari 2016

Tak lupa dia menulis beberapa Top Target yang harus dia capai di tahun ini. Sebelum keduanya dia tempel di dinding dalam kamar.
“Aku Akan Pergi Mak” sebuah puisi juga dia siapkan jika seandainya dia berhasil mendapatkan pekerjaan di daerah luar. Pekerjaan yang membuatnya keluar dari kampung halaman untuk sementara waktu, demi menggapai target yang dia tetapkan.


Kertosono, 01 Februari 2016 

0 ulasan:

Catat Ulasan

Popular Posts